Tuesday 8 August 2017

Tentang Siap atau Tidak Siap Menikah

image from here

"Lo tuh Nel, belom siap nikah kalau gua rasa!"

Keluar dari mulut teman laki-laki yang baru saya kenal sekira 6 bulan, ketika saya bilang semalem sahur disuapin suami sambil setengah merem di kasur, saking ngantuk luar biasa :)))

Hidup di lingkungan yang sama sekali enggak judgemental, cerita hal seperti itu tentunya tanpa beban atau tendensi apa-apa. Tapi jujur aja sempat kaget beberapa detik denger respons dia. Bukan karena saya mendadak ragu tentang kesiapan menikah, tapi betapa persepsi tentang pernikahan itu sangat beraneka rupa. 

Tapi beberapa detik kemudian, saya ketawa.

"Mungkin bener sih gue gak siap nikah, bakal mempertimbangkan rencana nikah atau cancel malah, kalau persepsi calon suami gue tentang pernikahan sama kayak elo."

Dan kami pun ketawa, kemudian ngobrol seperti biasa.

Saya enggak bilang dia salah atau lainnya tentang kesiapan menikah, cuma ya beda perspektif ajalah. Beda segmentasi. Dia ditakdirkan untuk perempuan yang punya persepsi sama, begitu pun saya. Penilaian saya ke dia juga enggak jadi berubah, cuma ya FYI aja sama perbedaan tersebut.

Kalau ngomong soal pernikahan, memang perspektifnya banyak banget. Dan di sini saya mencoba menuliskan dari persepsi saya, yang syukurnya selaras dengan suami, dengan sekuat hati dan hati-hati menulis biar enggak terkesan menganggap pilihan yang lain salah.

Saya enggak pernah tersinggung ketika ada orang bilang manusia zaman sekarang sangat fokus di persiapan resepsi, bukannya the life after wedding day. Karena saya paham betul saya bukan orang yang demikian. Sehingga, anggapan itu tentunya bukan buat saya. Ya elah, gak ada seujung kukunya kali ya persiapan resepsi, kalau dibanding dengan seberapa lama waktu dan upaya mempersiapkan mental untuk menikah.

Gimana kalau mental udah dipersiapkan tapi tetap kandas? Well, we'll never know. At least dengan beberapa upaya di awal, beberapa faktor bisa dicegah. Saya juga enggak akan menyesal karena semua udah diputuskan dengan sadar. Saya tahu yang udah dipersiapkan aja bisa excruirating, tapi terus gimana yang enggak dipersiapkan sama sekali?

Jadi, apa sih yang ada di pikiran saya ketika merasa siap untuk menikah? Banyak! Tapi coba deh diringkas~

1. Financially independent

Marriage is not the stage of life that everyone should go through, I know. Tapi dalam setiap fase kehidupan, pasti ada kebutuhan lain yang mengikuti. Misal ketika kerja, kita memutuskan untuk berhenti nerima uang bulanan dari orangtua. Dan ketika menikah, well sumber pemasukan jadi dua, tapi kebutuhan lain pasti mengikuti.

Saya juga sadar saya orangnya banyak mau. Jadi ya udah kebayang target-target apa aja yang akan menyusul ketika sudah menikah. Enggak bermaksud bilang saya mencoba realistis, karena setiap orang akan merasa dirinya realistis, dengan persepsi yang berbeda pula hahaha. Tapi setiap hari, setiap fase, kita pasti ingin jadi sosok yang lebih baik, punya kehidupan yang lebih baik. 

Meski memang payah di kelas matematika, tapi saya sangat concern dengan "angka" yang dipegang. Ketika akan melangkah ke suatu fase, I will do the math. And yes, this may sounds overrated tapi saya enggak mau jadi sosok yang dependen financially, termasuk ketika telah menikah, meski itu ke suami. Tanpa bermaksud mengecilkan YBS yang saya tahu bisa banget menafkahi dan pasti mau berkorban apapun demi saya (CIEE). Jadi sebelum menikah, yang ada di pikiran saya: I know I will be fine on my own, but prefer to be with him.

2. Able to negotiate

We couldn't have it all, aren't we? Saya inget beberapa tahun lalu saya sangat self-centered, keras kepala meraih apa yang saya mau. Mau A, harus dapet. Mau B, kemudian memfokuskan diri hanya ke B sampai bisa.

Dan kita tahu, marriage is a lifetime negotiation. Fokus nanti gak akan melulu di seputar saya, saya, dan saya. At some point, ini terdengar mengerikan. Sampai perlahan-lahan ini terdengar masuk akal dan saya bersedia 'terjerumus' di dalamnya. Consciously. Untuk selalu negosiasi dan memikirkan orang lain, bukan cuma diri sendiri.

Enggak mau juga lah, punya pasangan yang harus selalu ngalah demi ngikutin apa yang saya mau. Kalau kata Angelina Jolie, kita yang merasa selalu punya kuasa atas diri sendiri somehow needs someone to bring us "down". Bukan buat dijatuhkan, tapi buat bikin kita kembali menapak dan ngingetin bahwa banyak hal yang bisa dilakukan selain mengejar ambisi pribadi. It takes two to tango, but then again, saya tentu mencari pasangan yang membuat semua proses negosiasi berjalan tetap imbang dan make sense.

3. Jujur ke Diri Sendiri

Apa sih yang kita inginkan dalam hidup? *MULAI...*

Gimana sih kita mengharapkan perlakuan semesta ke kita? *HALAH* 

Apa makna yang diambil dari jatuh bangun hidup selama ini, apa pelajaran yang dipetik dari jadian-putus-jadian sama yang baru-putus-punya pacar baru lagi-and there goes the list? *Ambil minum*

All my life, sama seperti kebanyakan orang saya juga berusaha terus mengenali diri sendiri. Apa aja yang saya pengen, yang saya takutin, yang saya hindari, yang saya jadikan pegangan. Sampai akhirnya paham, sosok seperti apa yang saya harapkan bisa ada di samping saya setiap hari terus-terusan. Apa kekurangan yang ada di manusia yang bisa saya tolerir, kemudian apa ketidakcocokan yang akan bikin saya suffer setiap harinya nanti. Buat yang terakhir, I prefer skip.

More about me-factor sebelum faktor eksternal lainnya. Karena saya enggak mau juga lah menikah cuma karena 'Ya udah yang lain juga udah nikah'. Dan paham juga, risiko pernikahan dan segala tetek bengeknya. Meski buat yang udah menikah lama (atau kata saya 10 tahun kemudian - atau yang memasuki fase baru di pernikahannya), mungkin akan menganggap racauan ini mentah banget. 


4. Memahami komitmen

Pernah enggak kepikiran, "Gimana kalau udah nikah terus gue suka sama orang lain?" Saya? Sering! Lol. Selama sebelum menikah, ini salah satu hal yang sering lewat-lewat di pikiran saya. 

Sampai sempat bahas dan YBS bilang kalau setelah menikah ya memang bukan lagi masalah lovey dovey dan lain sebagainya tapi lebih ke komitmen dan kompromi. Sederhana? Well semua dalam hidup emang terlihat sederhana kalau kita baca di quotes atau denger di film hahaha. Tapi kalau momennya belum dapet dan kita lagi menuju momen itu, rasanya resah banget mencari jawaban. 

Gimana komitmen kita untuk saling bisa dipercaya tapi tetap punya kehidupan masing-masing. Komitmen untuk terus trying to make it works, mulai dari sama-sama do the household chores sampe bikin rencana ke depan. Komitmen untuk terus mau saling jujur dan diskusi, dan komitmen lainnya yang pasti banyak banget. Sehingga perasaan adalah sesuatu yang emang harus di-maintain, didasari komitmen tadi. Bukan lagi sesuatu yang dicari. Plus mungkin proses pencarian kami emang udah berakhir aja muahahaha. (Byee fase senang-mencari-tapi-enggan-ditemukan).

But at some point, melewati ina-ini-itu, semuanya jadi make sense.

Meski, perlu digarisbawahi, semua hal bisa berubah. Ada kalanya keadaan juga berubah dan seiring berjalannya waktu kita memikirkan kembali apa yang dicari dalam hidup. Memang banyak hal bisa terjadi di luar kuasa kita, tapi at least memastikan semua di awal bisa bikin kita lebih mudah memaafkan diri sendiri ketika menghadapi kerikil, atau bahkan kegagalan di kemudian hari.

5. Dengan siapa~

"Yang beda emang bisa di-mix, tapi enggak semua yang di-mix itu match," kata teman KKN saya, ketika dia lagi beli Pop Ice campur keju di SD tempat kami mengajar.

Obrolan segelas Pop Ice itu tanpa disadari sering jadi magic spell di masa lalu saya. 

Saya, pasti, cari pasangan yang sedikit beda-sedikit sama dengan saya. Kalau sama banget, capek juga ya pasti berantem mulu lol. And I don't think people similar with me can handle my worst, cause I hardly handle them every now and then nyahahahaha.

Tapi yang beda pun, ya harus match. Match dalam artian bisa mendukung poin-poin saya di atas. Punya value yang sama.

Yang bisa bikin saya jujur kepada diri sendiri dan jadi diri sendiri. Bisa share insecurities dan bisa nunjukkin sisi vulnerable masing-masing. Kalau capek ya capek, minta suapin ya suapin, kalau lagi pengen pergi sendiri ya pergi aja. Kalau lagi mau ngurusin urusan pertukangan ya kerjain aja tanpa takut pasangan ngerasa sisi maskulinnya terganggu. Kalau harus ambil keputusan ya ambil aja (contohnya kalau mau beli lipstik atau sepatu nggak usah izin dulu lol). Kalau lagi merasa fragile ya minta peluk aja sampe ketiduran.

Sehingga dia enggak akan memaksa saya melakukan apa yang kurang saya minati, contohnya ya masak, nyetrika. Saya enggak memasukkan urusan domestik sebagai syarat saya merasa siap nikah karena menurut saya kalau itu sih bukan masalah bisa atau nggak bisa. Itu sebenernya kemampuan dasar orang, mau laki-laki perempuan, semua orang bisa kalau emang mau. Tapi kan kita sekarang punya banyak pilihan, ya? 

Yang bisa diajak ngobrol tentang apa aja, mulai dari kerjaan sampai gosip receh. Yang bisa dengan bebas kita tanyain tentang apa aja dan dia selalu punya jawabannya (atau mau membantu mencari jawabannya). Walau kadang kalau ybs terlalu improve suka berakhir becanda. Tapi intinya masing-masing bisa didengar dan mendengarkan. 

Yang punya pemahaman sama tentang komitmen, sehingga enggak usah lah ngumpetin foto lagi selfie bareng temen cowok karena takut dia curiga atau pura-pura kerja padahal nongkrong sama geng. Atau bete gara-gara pasangan bilang si A cantik, atau kita bilang si B cowok banget. Ya elah. Dan, yang bisa menafkahi tapi sekaligus enggak kecil hati kalau istrinya bisa independen secara pikiran maupun finansial. Di underline banget, Nel? Iya! 

Nah setelah poin-poin itu (yang sebenernya masih banyak poin lain tapi intinya itu lah), baru akhirnya berasa siap.

Bukan berarti yang beda dari paparan di atas salah, sih. Cuma ya beda aja. Masing-masing pasti punya kebutuhan yang beda ketika membahas mengenai pasangan. Saya tuh selalu percaya kalau setiap orang punya target audience masing-masing. Jadi kalau menemukan orang yang beda, saya cuma berharap dia punya satu circle yang bisa memenuhi pemuasan kebutuhannya di topik tersebut. Karena saya enggak bisa. Ngobrol yang lain mungkin bisa, tapi buat suatu pemahaman yang beda, saya juga enggak pernah memaksakan sama.

Ya capek nggak sih kita minta scoop yang lebih luas (misal, negara), buat menghargai perbedaan tapi masalah beda persepsi aja bikin ricuh *TSAH*

Buat memahami orang lain, kadang kita juga perlu tahu persepsi mereka, memang. Nah, kalau menurut kamu, apa sih arti "Siap Menikah"?

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Duh, jangan-jangan aku belum siap nikah :))))
    *komen sebelumnya salah copy-paste.

    ReplyDelete