photo from here |
Dear Annel,
It's time to start your first project! So currently I'm working in this xxx project and looking forward to hearing your ideas. Please gather any insight about xxx in Indonesia and let's discuss further at 10.40 am. I'll be around the cafe! See you~
Tahun lalu, hari kedua bekerja di kantor baru,
saya mendapat email yang isinya kurang lebih seperti itu dari salah satu team
member yang berasal dari Korea. Tempat bekerja saya yang sekarang adalah tech
company asal Korea Selatan. Dan sekitar sebulan sekali, global team berkunjung
ke Indonesia selama satu minggu.
Setelah membaca email, perasaan saya campur
aduk. Antara exciting, senang, deg-degan, takut, dan lain sebagainya. Tapi saya
inget banget ketika itu enggak punya banyak waktu buat bengang-bengong karena
10.40 itu berarti 10 menit sejak email dikirim. OMG!
Langsung lah bikin pointers,
googling-googling, buka-buka data yang saya punya, dan 10 menit berlalu dengan
cepet banget. Langsung bawa laptop menuju lokasi yang dia maksud. Setelah dia
jelasin proyeknya akan seperti apa, saatnya saya yang jelasin beragam temuan di
10 menit penuh deg-degan itu. Udahnya? Saya dikasih berbagai pertanyaan yang
sifatnya lebih mendalami apa yang sudah saya jelaskan. Kemudian kami diskusi
beberapa ide yang dirasa paling efektif untuk proyek ini. Fyuh. Sekitar 45
menit casual meetings and I survive!
--
Mau enggak mau, saya membandingkan dengan apa
yang terjadi saat minggu pertama bekerja di sebuah korporasi tempat saya
bekerja sebelumnya. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang media
massa. Karyawannya tentu udah banyak banget. Ribuan. Di produk saya sendiri,
sebuah media cetak untuk perempuan dewasa muda, ada sekitar 60 orang yang
mengurusi editorial saja. Belum tim sales, markom, dll.
Lima tahun di sana, saya masih inget banget
prosesnya. Semua serba bertahap. Hari pertama onboarding langsung oleh atasan
saya. Kala itu, istilahnya Redaktur. Terus baca-baca artikel di rubrik yang
akan saya isi. Hari kedua diminta bikin artikel untuk online, kemudian evaluasi.
Hari ketiga diajak liputan kesehatan, nonton operasi kista endometriosis di
layar segede tembok T____T
Jadi operasinya menggunakan kamera berukuran
sangat kecil yang dimasukkan ke perut dan kita lihat semua daleman-dalemannya
omg.
Nah lho, jadi melebar ceritanya. Bear with
me!
--
Tapi dari dua cerita hari pertama itu, bisa
dilihat salah satu dari perbedaan bekerja di korporasi dan di startup,
khususnya ketika kamu masih new joiners. (Lucky me, punya team lead yang oke
saat fase awal bekerja di keduanya). Tapi biar lebih nyaman bacanya, kita bikin
pointers aja ya!
DISCLAIMERS: Seperti di judul, ini hanya membandingkan
bekerja di korporasi vs startup berdasarkan pengalaman saya. Mungkin akan
sangat berbeda dibanding teman-teman yang bekerja di korporasi atau startup,
dengan perusahaan atau industri yang berbeda. Jadi maaf sebelumnya kalau berasa
menggeneralisasi banget. Dan seneng banget kalau teman-teman mau berbagi
pengalaman (yang sama atau lebih menarik kalau sangat beda), di kolom komentar
:)
1. Soal Dipersiapkan vs Diceburin
Di startup, kamu harus siap diceburin.
Awalnya saya kaget ketika pengalaman lembur pertama (masih di minggu kedua
kerja), yang lain udah pulang dan saya lagi beresin kirim email, tiba-tiba
dikontak untuk con-call dengan tim di Korea mengenai project yang lain. Dan saya sendirian. Anak baru, sendirian.
Perasaan deg-degan takut kurang prepare
materi pun kalah ketika ternyata saya gak bisa nyalain perangkat teleconference
di ruang meeting HAHAHAHA.
Di startup juga kamu enggak akan punya mentor
yang micro-manage karena proyek kamu ya tanggung jawab kamu. Dari ide,
eksekusi, sampai evaluasi, kita kerjakan sendiri. Kuncinya: Baca, nanya,
googling, nanya, googling, nanya, nanya, nanya :))
Saat onboarding dengan Team Lead, saya
dikasih banyak pemaparan dan kesempatan buat nanya, sih. Jadi ketika ada momen
itu, nanya sebanyak-banyaknya.
Sementara di korporasi, new hire biasanya
dapat mentor full dari atasannya langsung. Bahkan akan ada banyak sekali
training (dari yang relevan hingga yang sangat tidak relevan) yang bisa kamu
ikuti. Sementara ketika masuk ke tingkat selanjutnya, misal level manager (di
kasus saya dulu Redaktur), kamu juga bisa coaching anggota tim kapan aja.
Bahkan, coaching hingga fit kader dijadikan salah satu KPI saya waktu itu.
Sehingga setiap reporter bener-bener dipersiapkan punya kapabilitas yang sudah
dipersiapkan atasannya.
2. Soal Struktur Manajemen
Terbiasa kerja di korporasi yang strukturnya
sangat jelas dan berlapis-lapis, saya juga agak kebingungan awalnya.
Dulu, dari seorang Reporter menjadi Redaktur
butuh proses yang panjang dan enggak mudah. Ada proses penilaian, fit &
proper test, sampe pernah ada role-play test segala hahaha. Di atas Redaktur,
ada Redaktur Pelaksana, kemudian Pemimpin Redaksi, lalu GM yang di sampingnya
ada juga BM, kemudian Direktur. Promosi juga prosesnya berbelit-belit interview beberapa tingkat di atas, sampai kemudian dapet SK (Surat Keputusan) Pengangkatan.
Lapisan struktur yang banyak ini di satu sisi
bisa menjanjikan kamu jenjang karier yang jelas.
Sementara di startup, kamu yang di level
manager aja bisa langsung propose ide ke Country Director. Malah bisa dibilang,
semua bisa mulai di level manager, bahkan meski kamu fresh graduate! Makanya
kadang titel enggak terlalu penting. Di startup juga biasanya promosi kerja itu
berupa kenaikan grade aja, bukan pada jabatan.
Pesannya, jangan heran kalau ada begitu
banyak titel spektakuler di LinkedIn belakangan ini lol.
3. Soal Speed
Tadi sempat dibahas kalau korporasi punya
struktur yang jelas dan berlapis-lapis. Di sisi lain, ini bikin segala
pengambilan keputusan sangat lama untuk satu proyek saja. Pengambil keputusan
banyak, kepala juga banyak, jadi prosesnya panjang banget.
Ini sangat dipahami sih. Karena untuk sebuah
perusahaan besar, bikin satu kesalahan saja bisa panjang impactnya. Mau ganti
ukuran aja butuh research bertahun-tahun, apalagi kalau mau switch bisnis.
Sementara di startup yang lapisan strukturnya
pendek, pengambilan keputusan pun jadi cepet banget. Ide project hari ini, bisa
mulai dieksekusi besoknya. Ini bukan cuma masalah perubahan kecil, bahkan
penambahan fitur hingga perubahan business map pun bisa secepet itu!
Dan mungkin karena startup masih explore banyak hal sampai dapet metode paling cocok kali ya, sementara big company udah menemukan metode paling cocok itu. Yang pasti untuk beberapa orang, ini berasa banget pace kerjanya beda.
Tapi kembali lagi, ini dipahami banget sih.
Mengingat korporasi besar pasti sangat hati-hati mengambil keputusan,
berhubungan dengan brand image yang dibuat berpuluh tahun, puluhan juta pemakai,
dan mungkin puluhan ribu karyawannya.
4. Soal Personal Impact
Nah ini bisa berhubungan langsung dengan
style kerja kamu.
Kalau kamu lebih suka menggali satu bidang
secara dalam, korporasi sangat membutuhkan orang seperti kamu. Dalam artian,
korporasi biasanya mencari seorang expert di satu bidang, karena bidang lain
ada orang khusus yang juga expert di bidang tersebut. Sehingga misal kamu
penulis, sangat passionate tentang penulisan, dan ingin going deeper di hal
tersebut, kamu cocok berada di korporasi.
Dulu waktu masih kerja di media sebagai
Redaktur, memang kita punya Data Analyst sendiri, meski beruntung di tempat
saya bekerja, bisa tetap ada akses untuk ngutak-atik Google Analytics. Tapi di
kebanyakan perusahaan media lain, tim editorial biasanya enggak terlalu
dibebankan pada daily data. Buat user acquisition juga biasanya ada tim digital
marketing yang mendistribusikan konten dan memasang paid promo.
Sementara di startup, cocok buat kamu yang
tipe-tipe seneng nyoba banyak hal, tapi harus diakui, bisa jadi enggak
dalem-dalem banget. Buat anak konten, misalnya, kamu bisa ngerjain konten itu
sendiri, meramu data di Google Sheet sendiri, manage distribution channel
sendiri, termasuk operasiin paid promote konten kamu. Kemudian evaluasi, bikin
strategi baru, dan lakukan lagi.
Ya enggak sendiri-sendiri banget sih. Sekarang
juga saya punya tim yang mengoperasikan itu, tapi semua hal seputar performance
dan guidelines bertumpu di kamu, enggak dibagi-bagi ke divisi lain. Kamu harus
lebih fleksibel dalam hal job desc, karena memang timnya juga kecil.
Tapi, karena ngerjain berbagai hal dan tim
yang kecil, impactnya langsung berasa banget. Kalau kita leyeh-leyeh, ya produk
kita mungkin gak bisa going further. Sebaliknya ketika performance kita oke,
kita bakal beneran ngelihat impactnya ke product yang kita miliki ini. They
treats a product like their baby.
Kalau saya pribadi ngerasa, segala langkah
yang kita ambil langsung berasa banget impactnya ke perusahaan. Kalau di
pekerjaan sebelumnya, misalnya, saya merasa cuma sebagai sekrup yang menjaga
roda-roda agar tetap berputar, di sini kita beneran berasa jadi rodanya. Jadi
kapanpun kita berhenti, impactnya pun bakal langsung berasa.
5. Soal Work Environment
Yah, bukan rahasia kalau lingkungan kerja
startup bisa jadi hal pertama yang kelihatan 'menggiurkan' kalau kita lihat
dari luarnya aja.
'Enak ya kerja di startup, kantornya bagus,
lucu. Pasti punya meja pingpong (HAHAH). Suka ada outing, sering ada casual
event bareng yang resmi diinisiasi kantor, sebulan sekali team dinner, segala
achievement kecil selalu dirayakan, free breakfast, free lunch, dll dll~'
Iya, itu semua bener. Mungkin karena kebanyakan karyawannya millennials (atau bahkan gen Z), maka perlu treatment yang beda.
Jam kerja juga fleksibel, bisa kerja remote. Tapi jangan salah, kerja
remote dan jam kerja flexible itu di sisi lain bikin kita juga harus siap
kapanpun dikontak dan diminta concall. Hahaha.
Sementara di kantor saya sebelumnya, lingkungan kerja luas banget, beragam generasi ada. Serunya, berasa punya banyak kakak-mama-om-tante hehe. Jadi kalau di kantor sekarang punya banyak office buddy, di kantor lama itu kayak keluarga.
Di sisi lain, mungkin karena kita enggak merasakan langsung impact dari pekerjaan, sehingga sense of urgency enggak terlalu tinggi. Performa perusahaan secara detail cuma diketahui lapisan teratas. Pressure juga enggak terlalu tinggi karena beban dibagi-bagi ke berbagai divisi.
Di sisi lain, mungkin karena kita enggak merasakan langsung impact dari pekerjaan, sehingga sense of urgency enggak terlalu tinggi. Performa perusahaan secara detail cuma diketahui lapisan teratas. Pressure juga enggak terlalu tinggi karena beban dibagi-bagi ke berbagai divisi.
Atau mungkin justru saking banyaknya orang dan satu project dipegang banyak divisi, jadi ketika ada yang nggak perform, nggak langsung bisa ketemu masalahnya lantaran yang pegang ada banyak divisi. Dan berpotensi oper-operan kesalahan.
Untuk beberapa big company juga punya jam
kerja yang ya strictly office hour. Meski buat yang kerja di media mungkin udah
lupa juga sih jam berapa sih office hour yang sebenarnya :)))
6. Soal Gaji & Benefit
Perusahaan saya sebelum ini menawarkan
benefit yang oke banget. Dari dana pensiun, kesehatan, pinjaman buat alat
transportasi dan properti (meski saya enggak pernah ambil), bonus masa kerja,
bonus performance, dan gaji yang untuk di industrinya terbilang lumayan.
Makanya dulu sempat agak ragu buat pindah kerja.
Turns out, justru beberapa startup yang udah
lumayan gede, gajinya jauh lebih kompetitif. Ya mungkin beda sama startup yang
beneran baru mulai dan lagi struggling-strugglingnya. Tapi banyak banget
startup yang kasih penawaran salary di atas rata-rata korporasi. Bahkan sering
juga jadi becandaan di teman-teman saya, termasuk yang HR, kalau startup itu
kadang ngerusak harga pasar :)))
Masalah benefit, startup juga sekarang udah
membuat sistem yang oke. Selain benefit berupa health insurance, dana pensiun, dan
performance bonus, biasanya mereka memberikan benefit lain yang nggak kalah
menarik.
Misal Gym Benefit (di kantor saya tunjangan
ini bisa dialihin ke beli sneakers terbaru atau beli sepeda lol), Language
Course, jatah Medical Check Up, ada juga yang dikasih Travel Allowance bahkan
tambahan cuti di hari ulang tahun.
Selain itu di startup biasanya karyawan juga
punya jatah 'stocks' yang bisa dicairkan setiap tahun.
7. Soal Jangan Pendek vs Jangka Panjang
Sewaktu kerja di korporasi, bukan cuma 10 -
20 orang yang udah kerja di situ selama lebih dari 20 tahun. Sementar di
startup (ya karena masih baru juga sih perusahaannya - thats why we called it
startup. Duh, Nel!), kerja 1,5 tahun aja itungannya udah lama :)))
Korporasi memang menawarkan jenjang yang oke
dan bikin banyak orang merasa ada di safety net.
Tapi di sisi, startup atau khususnya Tech
Company di Indonesia sekarang ini juga enggak kalah menjanjikan banget.
Meski memang secara general riskier, tapi
sekarang udah banyak pilihan untuk melangkah ketika kamu harus berpindah dari
satu startup ke startup lain. Banyak juga startup yang udah mulai jadi big
company.
Jadi.......
Pesannya, setelah sharing perbedaan kerja di korporasi vs startup versi saya ini, jangan percaya kalau ada orang yang
bilang kerja di A lebih baik ketimbang kerja di B, begitu juga sebaliknya.
Karena memang berbeda, membutuhkan orang yang berbeda pula. Diminati juga oleh
orang yang berbeda. Seseorang bisa jadi lebih perform ketika bekerja di
korporasi, atau justru sebaliknya.
Karena masing-masing menawarkan hal yang sama
baiknya. Tinggal mana yang sesuai dengan ekspektasi salary atau purpose yang
kamu cari saat bekerja. Toh, kerja di mana-mana sama aja sebenernya. Sama-sama
capek, sama-sama digaji. Yang enak mah liburan (aduh iya kapan dong nih
liburaaaan). Tinggal mana aja yang dirasa lebih sesuai ekspektasi kamu.
Kalau ditanya, setelah pindah ke startup apa
bakal mau balik ke korporasi lagi someday?
Jawabannya…. Belum tapi enggak menutup kemungkinan someday. Tergantung benefits package-nya X’D
Karena millennials itu katanya loyal ke diri
sendiri, bukan ke perusahaan. L O L.
This is very wonderful and attractive post. such a great and awesome post it is. we really love it. thank you for sharing this fabulous post.
ReplyDeletehttps://kdmaster.com.au/