Photo from here |
The generation of
renters they said. Millennial under 35 years old.
Kira-kira 4 tahun lalu
saya pernah diramal sama seorang tarot readers. Dia lagi diwawancara
untuk dibikinkan profil di media tempat saya bekerja dulu. Teman-teman pun mengantre minta diramal tarot dan saya pikir, okelah ikutan. Lucu-lucuan aja. Yang ternyata akhirnya malah jadi enggak lucu.
Ada beberapa
“terawangan” dia yang bikin saya meringis, salah satunya: “Seumur hidup, kamu
akan mengontrak dan enggak punya rumah.”
Bam!
Sejak itu, frasa “punya
rumah” jadi menakutkan. Padahal sebelumnya, saya yang masih polos dan enggak
paham seputar harga rumah maupun tanah ini mikir bahwa orang itu pasti akan
punya rumah. Apalagi saking naifnya, dulu sempet sesumbar pengen punya rumah di
Jalan Kerinci *lempar batu bata* dan langsung babak belur dikatain orang sekantor.
Hahaha. Fresh grad, masih coro, mimpinya ketinggian.
Beberapa tahun
kemudian, saya bersugesti positif: Pasti dia nerawang berdasarkan generasi doang, deh. Nebak-nebak aja, karena sejak 2
tahunan lalu, emang santer istilah bahwa Millennials adalah generasi sewa atau kontrak. Konsep kepemilikan itu udah enggak relevan katanya buat mereka.
Iya. Harga tanah terus
naik, ketersediaan lahan semakin menipis. Buat yang penasaran mengapa harga rumah terus naik? Ada banyak
banget faktornya, termasuk andil developer juga. Buat
yang penasaran coba klik kata kunci di atas deh, ada tulisanku di halaman satu meski cuma sepotong lol. -_____-
Tapi yang paling ngaruh
sih perubahan gaya hidup yang bikin generasi Millennial juga punya
pilihan-pilihan beda dengan generasi sebelumnya.
Kalau beberapa tahun lalu dilemanya
antara beli apartemen atau rumah, sekarang lebih drastis: Why buy a house if
we can rent a flat near office? Why buy a car if personal driver (Uber) just a click
away? Why investing on “things”, if experience makes you happier?
Saya pernah share
artikel di Facebook tentang generation of renters ini. Generasi sekarang punya
definisi sukses yang beda, salah satunya investasi bukan lagi properti atau uang, melainkan
experience.
Tentang The Minimalist
Mungkin udah pada
familiar lah ya sama istilah exile lifestyle atau yang lebih dikenal:
minimalism. Live more with less.
Sebelum memutuskan
perlu atau enggak punya rumah, konsep minimalism ini sempet terlintas di
kepala saya. Perlu nggak sih, zaman sekarang punya rumah? Saya berkontribusi
menuh-menuhin dunia doang dong? Ngurangin area resapan? *halah* Mau nggak sih, berkorban waktu dan energi
dengan lebih jauh ke kantor demi punya rumah? Ditambah, punya cicilan segala. Uang bulanan otomatis berkurang. Padahal seumur-umur, enggak pernah punya cicilan. Enggak punya kartu kredit.
Selain itu, saya juga
percaya banget konsep owning something itu pada dasarnya malah nambahin ketakutan kita. Karena nambah sesuatu yang dipikirin kondisinya. Kayak pas baru beli gadget, kita hati-hati banget kan takut lecet atau
takut dijambret. Dan rasa takut itu kan ngeselin, ya. Apalagi kadar parno saya luar biasa. Gimana nanti kalau punya
rumah? Saya juga pasti takut banget kemalingan lah, kebakaran, atau
hal-hal buruk lainnya.
Tapi di sisi lain usia
produktif setiap orang adalah misteri *uzz*. Saya takut kalau suatu hari nanti saya
memasuki fase enggak produktif, kemudian enggak punya biaya buat sewa lagi.
Jadi mumpung nih masih produktif, sebisa mungkin saya maksain (iya emang maksain) diri buat mengamankan masa depan.
Jadi mumpung nih masih produktif, sebisa mungkin saya maksain (iya emang maksain) diri buat mengamankan masa depan.
Dan setelah dibaca-baca
lebih jauh tentang minimalist ini, ternyata, enggak kayak yang saya
pikir di awal. Jadi konsepnya bukan berarti kita enggak possess apapun, tapi
gimana kita memilih memiliki beberapa hal yang kita butuhkan dan gunakan secara
terus-menerus, bukan demi punya-punyaan aja. ((((Punya-punyaan))))
Mungkin ada banyak “aliran” yah, tapi I go with this kind of minimalist. PR-nya adalah: Harus lebih selektif ketika beli sesuatu. Harus tega declutter barang-barang yang emang udah enggak dibutuhin lagi. Simpanlah attachment feeling pada tempatnya. Tsk.
Mungkin ada banyak “aliran” yah, tapi I go with this kind of minimalist. PR-nya adalah: Harus lebih selektif ketika beli sesuatu. Harus tega declutter barang-barang yang emang udah enggak dibutuhin lagi. Simpanlah attachment feeling pada tempatnya. Tsk.
Akhirnya, Memutuskan…
Ayo, beli rumah.
Ini juga
berubah-berubah sih, saya inget tiga tahun lalu sempet prefer apartemen.
Kemudian balik ke landed house begitu tahu biaya maintenance dan parkirnya. Terus lihat harga rumah, apa apartemen aja ya?
Bisa cari yang harganya lebih murah tapi lebih deketan ke kantor. Terus lihat harga apartemen, yailah sama
aja! Sampai akhirnya ketok palu, udah, rumah.
Dan balik lagi ke saya
yang diam-diam punya commitment issue dengan apapun (termasuk maju mundur mau
jadi member gym karena kudu setaun dan banyak ina-ini-itunya), proses ini bener-bener
mengerikan dan modal nekat. Sepakat naro angka cicilan bulanan yang doable aja lama.
Nekat Adalah Koentji
Tapi saya juga selalu
kebayang-bayang lima tahun lalu ketika mulai ngeh harga rumah di Jakarta. Dibandingin sekarang, gila, kenaikan harganya bikin sakit kepala. Dan saya nyerah. Enggak, enggak di Jakarta. Meski
beberapa tahun ke depan mungkin pertumbuhan properti enggak sepesat 5 tahun
terakhir, tapi saya mulai ngeh kalau untuk yang satu ini emang harus nekat.
1. Nekat dengan jarak
tempuh yang lebih jauh.
Sama seperti kebanyakan pendatang, lima tahun tinggal di
Jakarta ini saya ngekos. Namanya kost, pasti cari yang deket kantor lah. Makanya
saya enggak pernah ngalamin macet sehari-hari. Meski sekarang kantor daerah
Sudirman, tapi sama suami juga pake motor dan lokasi kost itungannya deket.
Sementara jarak (insya Allah) calon rumah dengan kantor... 17 km. Hadeuh. Sekarang masih dalam proses cari cara biar sampai kantor masih kece meski menempuh jarak 17 km. Tapi dipikir-pikir, zaman kuliah juga jarak rumah ke kampus 16 km, sih. Jadi masih bisa lah ya.
Sementara jarak (insya Allah) calon rumah dengan kantor... 17 km. Hadeuh. Sekarang masih dalam proses cari cara biar sampai kantor masih kece meski menempuh jarak 17 km. Tapi dipikir-pikir, zaman kuliah juga jarak rumah ke kampus 16 km, sih. Jadi masih bisa lah ya.
2. Nekat buat pergi
kantor lebih awal
Saya tuh, ya, susah banget pergi ngantor pagi. Hahaha. Meski bangun udah lumayan pagi tetep butuh
ina-ini-itu sebelum pergi. Nah berhubung jarak semakin jauh, butuh komitmen
baru: Bangun pagi dan enggak banyak ile sebelum ngantor.
3. Nekat… Nyicil T_T
The one that matter the
most. Harus menyisih uang buat cicilan, mulai pakai kacamata kuda, dan nyempilin waktu buat SJ-an. Sebagai generasi banyak mau, kebayang lah gimana mengerikannya. Kalau millennials katanya prefer liburan ketimbang punya rumah, gimana
kalau saya mau dua-duanyaaa??
Ditambah nekat juga, karena sesungguhnya enggak kebayang gimana
bisa ngisi rumah nanti *cek saldo*. Nekat juga, dengan sepakat sama suami di
awal-awal nggak masalah ngemper aja dulu, pake kasur aja enggak usah beli ranjang dulu.
Furnitur menyusul aja.
Yah, pick your own
battle lah ya. Semoga semua kengosngosanan (word -_-) ini worth it!
*Postingan ini terinspirasi Galuh, yang juga lagi nyari-nyari properti pertamanya.*
*Postingan ini terinspirasi Galuh, yang juga lagi nyari-nyari properti pertamanya.*
Nekat adalah kunci, Nel! Lebih baik bayar cicilan KPR daripada terus-menerus bayar kontrakan tapi ngga memiliki. Financial management juga berpengaruh supaya bisa tetap liburan :))
ReplyDeleteIya nih Win, perlu belajar banyak dari lo biar jatah liburan tetap aman hahaha. Share dong di blognya~~ :)
ReplyDelete