Big Brave
Thing.
Tiga kata itu memang yang pertama ada
di kepala saya ketika membayangkan tentang pernikahan, beberapa tahun
lalu.
Marriage leads to one and another new
big responsibility dan dibutuhkan keberanian besar (bagi saya) untuk memulai
fase itu. Bahkan, tadinya tiga kalimat itu mau dijadiin tulisan di dalam cincin
kawin saya segala. Untuk pengingat bahwa hal besar ini sudah saya ambil dan
pikirkan dengan matang. Tapi kok kesannya jadi terlalu bitter ya. Hahaha.
As a woman with commitment issue,
jelas aja menikah dan kehidupan setelahnya adalah sebuah keputusan besar buat
saya. Dan jujur, menakutkan di awal.
Mungkin juga karena kebanyakan nonton
serial tentang kehidupan perempuan-perempuan young adult hingga fase adult,
yang bikin saya selalu berpikir beberapa ratus juta kali sebelum memutuskan
menikah.
Eh bentar dulu, bukan masalah saya
enggak bisa setia, ya. Masalah komitmen ini enggak sesederhana itu. Ini lebih
tentang punya suatu kewajiban di mana kita harus memutuskan segala hal enggak
cuma di tangan kita.
Dan saya lihat kehidupan setelah
menikah itu bikin jiper karena kita harus share tujuan hidup sama seseorang.
Kalau tujuannya enggak tercapai, saya takut malah menyalahkan orang itu. Kalau
nanti saya enggak bahagia, saya takut pasangan saya nanti kena dampaknya.
Karena kalau boleh ngaku, saya ini orangnya agak kompleks. Dan keras kepala.
Yes I must admit :p
Belum lagi kalau ternyata tujuan kita
beda, gimana?
Enggak beres di situ aja, masih
banyak kejutan lain di kehidupan setelah menikah. Mulai kehidupan yang penuh
cicilan, artinya perlu berkomitmen ke bank buat bayar cicilan sekian tahun.
Kemudian komitmen yang lebih besar, memiliki anak.
Long story short, sampai akhirnya
saya sudah yakin dengan pasangan, kami pun memutuskan untuk menikah 1 tahun 4
bulan lalu. Dan sejauh ini saya enggak pernah menyesal. Bersyukur bertemu dengan
sosok yang tepat, sehingga semuanya bisa dinikmati. Seperti saran ibu saya,
jangan dibawa stres. Harus dinikmati. Awalnya kalimat itu terlalu sulit
dicerna, tapi kemudian saya paham artinya.
Setelah mengalahkan ketakutan atas
komitmen yang pertama, tantangan selanjutnya adalah menghadapi komitmen kedua.
Jeng jengggg……
Mencicil untuk properti pertama!
Setelah hampir 1,5 tahun saya dan suami ngekos, kami akhirnya merasa harus
memaksakan diri memiliki tempat tinggal permanen.
Dan berasa deja vu sih ini hahahaha.
Terakhir kali obsessively browsing this and that adalah ketika persiapan
resepsi pernikahan. Sekarang lagi-lagi saya harus berurusan dengan
kebanyakmauan yang kebentur bujet :)))
Lyyfeeeee~
Postingan selanjutnya kayaknya akan
dipenuhi cerita-cerita perjuangan kami mencari, menemukan, dan membangun rumah
pertama yang pastinya, sama sekali enggak mudaaaah T_________T *bayanginnya aja
udah stres duluan*
Wish us luck, will you? And surely
best wishes for you too! <3
No comments:
Post a Comment