photo from here |
Beberapa tahun
belakangan memang lagi rame banget perkara modal menikah. Antara modal uang,
modal gengsi, atau modal keberanian mental. Dibarengin banyaknya menikah dengan
resepsi yang undang sedikit orang biar lebih hangat dan intimate atau memilih
untuk menyelenggarakan akad tanpa resepsi nikah.
Enggak ada yang salah, semua kan tergantung keadaan masing-masing nggak sih? Yang menarik, beberapa hari ke belakang saya sempat dapet email dari pembaca blog ini *hiks, terharu ada yang baca. Btw kalian salah satu alasan aku akhirnya buka dan mulai nulis lagi di sini hihi* tentang keinginan dia nikah sederhana dengan jumlah undangan minimal, tapi enggak dibolehin orangtua. Orangtua pengennya pernikahan pada umumnya, di gedung dan mengundang banyak orang. Dia juga bilang tentang masalah gengsi orangtua yang ingin bikin resepsi gede-gedean.
Kemudian otomatis saya inget ke persiapan nikah kemarin. Saya waktu itu (dan yakin banyak orang yang serupa), kalau disuruh milih ya pengennya sih nikahan dengan undangan sedikit dan hanya yang kenal. Karena bukan rahasia katering emang ngabisin porsi paling banyak di resepsi
Nggak usah dibahas berpanjang-panjang, siapa sih yang seneng salamin orang segitu banyak di pelaminan kalau mukanya enggak ada yang kita kenal semua? Jadi saya yakin banyak kok yang enggak terlalu pengen di gedung, mendingan booking tempat makan aja. Karena buat saya pribadi kalau di rumah kebayangnya akan lebih ribet. Selain ribet beres-beresnya ditambah takut ganggu tetangga masalah parkiran, penutupan jalan, or sound system. Meski ada yang milih nikah di rumah dan nggak masalah juga sih asal enggak ganggu lalu lintas hahaha.
Kalau disuruh hanya akad doang pun, saya dan yakin banyak orang di sekeliling saya akan ngerasa nggak masalah. Toh, kalau mau, bisa bikin party kecil-kecilan lagi sama temen-temen deket, lebih murah dan intimate karena enggak ada orangtua hahaha.
Tapi, dipikir-pikir, kok ya enggak tega sama orangtua. Apalagi jujur aja kemarin juga resepsi mayoritasnya banget uang orangtua, kecuali masalah mas kawin, seserahan, cincin, dan printilan lainnya. Ya masa saya keukeuh enggak mau dan tetep milih nikahan sedikit, membatasi undangan temen-temen mereka, padahal duitnya juga dari mereka?
Waktu nikah 2015 lalu, dari jumlah undangan 1000 (2000 pax), undangan saya dan YBS pun cuma 15 persennya. Sisanya, orangtua. Ya memang hajat mereka kok. Jadi saya enggak pernah kesel dengan bilang “Yang nikah kan aku, kok Mama semua yang atur?” karena memang ini hajatan mereka.
Jadi saya saranin ke calon pengantin itu, ya enggak ada salahnya kok ikutin keinginan orangtua (khususnya kalau memang resepsi akan dibiayai ortu).
Saya juga enggak ngerasa perlu ngebandingin atau lihat sisi negatif dan positifnya antara yang nikah pakai resepsi atau enggak. Karena semua balik ke kondisi masing-masing. Toh, keadaan orang beda-beda dan kita enggak usah lah menerka-nerka “dapur” orang lain. Sebaliknya, kita juga enggak usah terlalu mikirin anggapan yang beredar di luaran.
Ini biasanya komentar yang enggak asing di telinga tentang mengadakan resepsi:
Ngapain resepsi ratusan juta cuma demi gengsi?
Saya pribadi sih enggak pernah berpikir tentang resepsi itu gengsi orangtua. Enggak sama sekali. Saya mikirnya itu kayak peringatan ulang tahun aja dulu. Ortu memang ingin bikin selametan, berbagi kebahagiaan, ngebahagiain anaknya, dan selagi dananya ada kenapa enggak? Kalau bujet udah mulai enggak masuk akal sih ya bisa diingatkan.
Lagian kenapa sih, setiap keputusan seseorang selalu dikaitin dengan pandangan orang lain (gengsi di depan orang lain)? Emang kita enggak boleh ya melakukan suatu hal demi kebahagiaan sendiri dan orangtua?
Saya malah enggak tega buat menolak resepsi cuma gara-gara pengen ngikutin apa yang saya mau. Bok, bisa jadi ini terakhir kali mereka melepas kita sebagai tanggung jawabnya, setelah nanti kita punya tanggung jawab tambahan dengan keluarga kecil kita. Jadi setelah dua puluh tahun lebih saya kebanyakan nyusahin, buat saat ini saya milih jadi anak yang nurut aja dan enggak mau bikin runyam buat hal yang kita tahu dilakukan orangtua demi kita juga.
Mau gimanapun pernikahannya, liat mereka senyum bahagia di hari bahagia kita itu udah menenangkan banget kan?
Resepsi ratusan juta tapi udahnya ngontrak atau tinggal sama ortu, buat apa?
Pasti sering dong denger, resepsi ratusan juta tapi kok ngontrak? Resepsi mahal-mahal tapi kok tinggal di rumah orangtua? Lah terus kenapa yah? Ha ha ha.
Kita enggak tahu loh kondisi orang. Ada aja yang nikah pakai resepsi gede-gedean dan langsung nempatin rumah sendiri, ada juga yang perlu waktu. Ada aja yang nikah cukup akad dan setelahnya tinggal di rumah ortu atau ngontrak, ada juga yang nikah akad kemudian langsung punya rumah dan honeymoon keliling dunia.
Saya sama YBS bikin resepsi, udahnya ngekos selama 1,5 tahun. Alhamdulillah, seneng-seneng aja.
Resepsi ratusan juta, emang balik modal?
Komentar kedua yang bikin biasa kelontar kalau bikin resepsi adalah, “Emang balik modal?”
Jujur ya, saya pernah nanya ke Mama waktu awal-awal persiapan pernikahan. ‘Mah, emang nanti dari gentong kira-kira dapet berapa?’ yang berakhir dengan di-hush-in. “Hush, emang kamu pikir ini dagang. Dikiranya Mama ngawinin kamu itu kayak bisnis yang ngarep balik modal? Enggak lah, itu mah jangan dipikirin, jangan ditargetin, dan jangan diharepin. Yang penting selametan, orang dateng dan ikut mendoakan, itu aja.”
Iya juga sih. Ngitung masalah “balik modal” ini jadi terdengar lame begitu orangtua jawab demikian.
Jadi… Selama enggak harus ikut patungan atau kecipratan tabungan mereka sih harusnya ya udahlah ya, doain aja penganten baru. Sama-sama tahu kan expense buat pengantin baru itu enggak sedikit. Jangan nambahin masalah mereka. He he he.
Enggak ada yang salah, semua kan tergantung keadaan masing-masing nggak sih? Yang menarik, beberapa hari ke belakang saya sempat dapet email dari pembaca blog ini *hiks, terharu ada yang baca. Btw kalian salah satu alasan aku akhirnya buka dan mulai nulis lagi di sini hihi* tentang keinginan dia nikah sederhana dengan jumlah undangan minimal, tapi enggak dibolehin orangtua. Orangtua pengennya pernikahan pada umumnya, di gedung dan mengundang banyak orang. Dia juga bilang tentang masalah gengsi orangtua yang ingin bikin resepsi gede-gedean.
Kemudian otomatis saya inget ke persiapan nikah kemarin. Saya waktu itu (dan yakin banyak orang yang serupa), kalau disuruh milih ya pengennya sih nikahan dengan undangan sedikit dan hanya yang kenal. Karena bukan rahasia katering emang ngabisin porsi paling banyak di resepsi
Nggak usah dibahas berpanjang-panjang, siapa sih yang seneng salamin orang segitu banyak di pelaminan kalau mukanya enggak ada yang kita kenal semua? Jadi saya yakin banyak kok yang enggak terlalu pengen di gedung, mendingan booking tempat makan aja. Karena buat saya pribadi kalau di rumah kebayangnya akan lebih ribet. Selain ribet beres-beresnya ditambah takut ganggu tetangga masalah parkiran, penutupan jalan, or sound system. Meski ada yang milih nikah di rumah dan nggak masalah juga sih asal enggak ganggu lalu lintas hahaha.
Kalau disuruh hanya akad doang pun, saya dan yakin banyak orang di sekeliling saya akan ngerasa nggak masalah. Toh, kalau mau, bisa bikin party kecil-kecilan lagi sama temen-temen deket, lebih murah dan intimate karena enggak ada orangtua hahaha.
Tapi, dipikir-pikir, kok ya enggak tega sama orangtua. Apalagi jujur aja kemarin juga resepsi mayoritasnya banget uang orangtua, kecuali masalah mas kawin, seserahan, cincin, dan printilan lainnya. Ya masa saya keukeuh enggak mau dan tetep milih nikahan sedikit, membatasi undangan temen-temen mereka, padahal duitnya juga dari mereka?
Waktu nikah 2015 lalu, dari jumlah undangan 1000 (2000 pax), undangan saya dan YBS pun cuma 15 persennya. Sisanya, orangtua. Ya memang hajat mereka kok. Jadi saya enggak pernah kesel dengan bilang “Yang nikah kan aku, kok Mama semua yang atur?” karena memang ini hajatan mereka.
Jadi saya saranin ke calon pengantin itu, ya enggak ada salahnya kok ikutin keinginan orangtua (khususnya kalau memang resepsi akan dibiayai ortu).
Saya juga enggak ngerasa perlu ngebandingin atau lihat sisi negatif dan positifnya antara yang nikah pakai resepsi atau enggak. Karena semua balik ke kondisi masing-masing. Toh, keadaan orang beda-beda dan kita enggak usah lah menerka-nerka “dapur” orang lain. Sebaliknya, kita juga enggak usah terlalu mikirin anggapan yang beredar di luaran.
Ini biasanya komentar yang enggak asing di telinga tentang mengadakan resepsi:
Ngapain resepsi ratusan juta cuma demi gengsi?
Saya pribadi sih enggak pernah berpikir tentang resepsi itu gengsi orangtua. Enggak sama sekali. Saya mikirnya itu kayak peringatan ulang tahun aja dulu. Ortu memang ingin bikin selametan, berbagi kebahagiaan, ngebahagiain anaknya, dan selagi dananya ada kenapa enggak? Kalau bujet udah mulai enggak masuk akal sih ya bisa diingatkan.
Lagian kenapa sih, setiap keputusan seseorang selalu dikaitin dengan pandangan orang lain (gengsi di depan orang lain)? Emang kita enggak boleh ya melakukan suatu hal demi kebahagiaan sendiri dan orangtua?
Saya malah enggak tega buat menolak resepsi cuma gara-gara pengen ngikutin apa yang saya mau. Bok, bisa jadi ini terakhir kali mereka melepas kita sebagai tanggung jawabnya, setelah nanti kita punya tanggung jawab tambahan dengan keluarga kecil kita. Jadi setelah dua puluh tahun lebih saya kebanyakan nyusahin, buat saat ini saya milih jadi anak yang nurut aja dan enggak mau bikin runyam buat hal yang kita tahu dilakukan orangtua demi kita juga.
Mau gimanapun pernikahannya, liat mereka senyum bahagia di hari bahagia kita itu udah menenangkan banget kan?
Resepsi ratusan juta tapi udahnya ngontrak atau tinggal sama ortu, buat apa?
Pasti sering dong denger, resepsi ratusan juta tapi kok ngontrak? Resepsi mahal-mahal tapi kok tinggal di rumah orangtua? Lah terus kenapa yah? Ha ha ha.
Kita enggak tahu loh kondisi orang. Ada aja yang nikah pakai resepsi gede-gedean dan langsung nempatin rumah sendiri, ada juga yang perlu waktu. Ada aja yang nikah cukup akad dan setelahnya tinggal di rumah ortu atau ngontrak, ada juga yang nikah akad kemudian langsung punya rumah dan honeymoon keliling dunia.
Saya sama YBS bikin resepsi, udahnya ngekos selama 1,5 tahun. Alhamdulillah, seneng-seneng aja.
Resepsi ratusan juta, emang balik modal?
Komentar kedua yang bikin biasa kelontar kalau bikin resepsi adalah, “Emang balik modal?”
Jujur ya, saya pernah nanya ke Mama waktu awal-awal persiapan pernikahan. ‘Mah, emang nanti dari gentong kira-kira dapet berapa?’ yang berakhir dengan di-hush-in. “Hush, emang kamu pikir ini dagang. Dikiranya Mama ngawinin kamu itu kayak bisnis yang ngarep balik modal? Enggak lah, itu mah jangan dipikirin, jangan ditargetin, dan jangan diharepin. Yang penting selametan, orang dateng dan ikut mendoakan, itu aja.”
Iya juga sih. Ngitung masalah “balik modal” ini jadi terdengar lame begitu orangtua jawab demikian.
Jadi… Selama enggak harus ikut patungan atau kecipratan tabungan mereka sih harusnya ya udahlah ya, doain aja penganten baru. Sama-sama tahu kan expense buat pengantin baru itu enggak sedikit. Jangan nambahin masalah mereka. He he he.
Alhamdulillah, mbak annel ngeblog lagi. Saya pembaca blog mbak annel dari prep nikahan mbak dulu. So sweet! Sukses terus mbak.
ReplyDeleteWaaa, thank you Roses! Kamu misterius sekali by the way aku cek link blognya masi kosooongg hehehe. Kamu pun, sukses ya!
Delete