Melihat Arya, saya seperti melihat diri
sendiri.
KALIMAT PERTAMA AJA UDAH BIKIN MALES NGGAK
SIH? :’))))
Tapi serius, kalau melihat ke belakang, saya
sendiri enggak nyangka kenapa serial ini mencuri perhatian saya sejak episode
pertama. Sampai sekarang, masih rela-rela aja nunggu 2 tahun sampai season
selanjutnya meski season 7 kemarin agak below my expectation.
Kenapa tiba-tiba mikir kayak gini? Jadi,
beberapa waktu lalu saya sempet heran, kenapa serial Game of Thrones (GoT) ini
lekat banget image-nya sama seksualitas. Ditambah setiap ada trivia seputar
GoT, dari segambreng fakta menarik, unsur seksualitas ini sering kali yang
dihighlight dan dijadikan thumbnail. Bahkan GRRM sempet disentil berkali-kali
sama para feminis dunia about how he portrayed woman in this series.
Padahal di season 6 awal, saya merasa it’s
about the queens who run entire Westeros! (Margaery, I put my hope on you,
once). Ah, atau mungkin saya dibutakan hal lain hingga kurang sensitif.
Saya enggak lupa sih, adegan di mana Tyrion
dikelilingi pelacur ketika di Winterfell, pernikahan dan malam pertama Daenerys
bareng Khal Drogo, beberapa scene di mana Daenerys tampil tanpa busana. Saya juga
masih inget resurrection epic Jon Snow yang fenomenal itu. Iya juga sih,
daging-daging berkelebatan di film ini. Tapi anehnya, saya melihat film ini
lebih dari itu. Bukan sok-sokan dengan lihat film ini lebih filosofis apalagi
historis, justru sesederhana saya melihat sosok saya di diri Arya (please
jangan menyesal atau berhenti baca ini lololololol).